Pada suatu kesempatan saya berbincang-bincang dengan beberapa teman saya dan mengutarakan niat saya untuk memperistri gadis Sunda. Mendengar penuturan saya tersebut hampir semua teman saya (kebetulan semuanya berasal dari suku Jawa) secara spontan menyatakan ketidaksetujuannya. Alasan yang diberikan hampir seragam: perempuan Sunda adalah tipe perempuan yang matre.

Jika anda perhatikan, alasan yang disampaikan adalah alasan sepihak yang memojokkan perempuan Sunda. Selidik punya selidik ternyata apa yang teman-teman saya ungkapkan adalah ekspresi kekecewaan terhadap sebuah pengetahuan umum berupa keengganan perempuan Sunda untuk diperistri oleh lelaki Jawa. Jadi, ketika kebanyakan perempuan Sunda menolak untuk dinikahi oleh lelaki Jawa maka orang Jawa, karena merasa diremehkan, memunculkan mitos bahwa perempuan Sunda adalah tipe perempuan yang mata duitan.

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kebanyakan perempuan Sunda menolak untuk dijadikan istri oleh lelaki Jawa? Jawaban dari pertanyaan itu saya peroleh ketika saya membaca serial novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi. Dalam novelnya (khususnya novel keempat: Gajah Mada, Perang Bubat dan di bagian awal dari novel kelima: Gajah Mada, Madakaripura Hamukti Moksa) Langit Kresna Hariadi menceritakan bahwa ketidakharmonisan hubungan Jawa-Sunda berawal dari suatu kejadian berupa Perang Bubat yang terjadi di masa pemerintahan Kerajaan Majapahit.

Langit Kresna Hariadi menceritakan bahwa suatu ketika Majapahit telah menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara (serupa dengan wilayah RI saat ini) dan hanya menyisakan sebuah kerajaan yang belum mau tunduk dan bergabung di bawah kendali Majapahit. Kerajaan tersebut adalah Kerajaan Sunda Galuh yang berlokasi di pulau Jawa bagian Jawa Barat, sekarang masuk dalam wilayah Jawa Barat. Gajah Mada, yang saat itu menjadi Mahapatih Amangkubumi (sekarang semacam perdana menteri), didorong untuk mewujudkan Sumpah Palapa yang telah diikrarkannya, berusaha menaklukkan Sunda Galuh dengan cara yang sama dengan yang dilakukan terhadap kerajaan lain di Nusantara yang menolak ide penyatuan yaitu dengan diperangi. Akan tetapi niat Gajah Mada ditolak oleh keluarga Istana (Para Ibu Suri/Ibu Raja) dengan alasan bahwa penguasa Sunda Galuh masih ada hubungan darah dengan nenek moyang keluarga istana Majapahit. Disamping itu penolakan yang lebih kuat berasal dari Raja Majapahit sendiri (Prabu Hayam Wuruk) yang berkeinginan memperistri putri mahkota Sunda Galuh, Dyah Pitaloka Citraresmi. Menghadapi penolakan tersebut Gajah Mada tidak patah arang dan menyusun strategi penaklukan Sunda Galuh dengan memanfaatkan niat Prabu Hayam Wuruk untuk mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi. Jadi, waktu itu Gajah Mada meminta kepada Prabu Hayam Wuruk untuk melaksanakan prosesi pernikahan di kediaman pihak pria (berkebalikan dengan adat masyarakat yang umumnya menyelenggarakan acara akad nikah di kediaman pihak perempuan). Maka diundanglah Dyah Pitaloka Citraresmi beserta segenap keluarga istana Kerajaan Sunda Galuh untuk datang ke Majapahit. Sebelum akad nikah dilangsungkan, di suatu tempat bernama Lapangan Bubat, Gajah Mada memaksa Prabu Maharaja Linggabuana (Raja Sunda Galuh) untuk menandatangani sebuah prasasti dari tembaga sebagai tanda bahwa Sunda Galuh tunduk terhadap kekuasaan Majapahit. Merasa dilecehkan, Prabu Maharaja menolak dan mengangkat senjata untuk melawan dan perang pun tak terhindarkan. Prabu Maharaja adalah orang pertama yang terbunuh dalam peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama Perang Bubat tersebut. Semua pengiring dan prajurit pengawal Sunda Galuh juga terbunuh. Adapun Dyah Pitaloka Citraresmi memilih untuk mati dengan cara melakukan bunuh diri setelah melihat ibundanya Dewi Lara Linsing melakukan hal serupa karena menyaksikan suaminya terbunuh.

Sebagai penutup saya cuplikkan penggalan tulisan Langit Kresna Hariadi yang terdapat dalam kata pengantar novel kelimanya: “Perang Bubat agaknya merupakan isu yang sangat peka. Perang di lapangan Bubat telah lewat ratusan tahun yang lalu. Namun, dendam dari kisah lama itu masih terlihat jejaknya hingga sekarang. Warisan emosional itu rupanya masih terjaga, entah kapan akan pudar. Kisah itu banyak menimbulkan mitos buruk, diantaranya adalah sebaiknya perempuan Sunda jangan mau diperistri orang Jawa.”

Nah loh! ternyata gitu tho ceritanya……………!!!
Yang saya belum temukan jawabannya adalah mengapa teman-teman saya juga melarang saya memperistri perempuan Padang dengan alasan yang juga bersifat sepihak dan memojokkan bahwa perempuan Padang adalah tipe perempuan yang pelit!!! ada yang tahu mengapa muncul anggapan seperti itu???