six-sigma-bDefinisi Six Sigma

Greg Brue (2002) mendefinisikan six sigma sebagai: a) konsep statistik untuk mengukur sebuah proses dimana tingkat kegagalannya sebesar 3,4 kali kemungkinan dari 1 juta kegiatan yang sama; b) filsafat manajemen yang memfokuskan diri pada pembatasan kegagalan melalui praktek yang mengutamakan pemahaman, pengukuran, serta penyempurnaan proses.

Ingle & Roe (2001) merumuskan six sigma sebagai pendekatan yang melibatkan pengukuran dan penyempurnaan kapabilitas proses manajerial untuk menghasilkan barang/jasa yang terbebas dari cacat.

Sementara itu, Urdhwareshe (2000) mendefinisikan six sigma sebagai sebuah pendekatan yang sangat tertib, yang digunakan untuk membatasi penyimpangan dalam proses operasional, sehingga cacat produk menjadi kurang dari 3,4 bagi 1 juta proses, barang, atau jasa tertentu.

Empat macam rumusan tersebut mengarah pada pemahaman yang sama yaitu six sigma merupakan falsafah manajemen yang praktis, yang diperlukan oleh tiap-tiap perusahaan. Mengapa? Karena six sigma mengandung unsur-unsur pemahaman, pengukuran, dan penyempurnaan yang berkesinambungan terhadap proses kegiatan demi kepuasan pelanggan, sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan dapat ditekan sekecil-kecilnya.

Sejarah Perkembangan Six Sigma
Pada akhir tahun 1970, Dr. Mikel Harry, seorang insinyur senior pada Motorola’s Government Electronics Group (GEG) memulai percobaan untuk melakukan problem solving dengan menggunakan analisa statistik. Dengan menggunakan cara tersebut, GEG mulai menunjukkan peningkatan yang dramatis: produk didisain dan diproduksi lebih cepat dengan biaya yang lebih murah. Metode tersebut kemudian ia tuliskan dalam sebuah makalah berjudul ”The Strategic Vision for Accelerating Six Sigma Within Motorola”. Dr. Mikel Harry kemudian dibantu oleh Richard Schroeder, seorang mantan executive Motorola, menyusun suatu konsep change management yang didasarkan pada data. Hasil dari kerja sama tersebut adalah sebuah alat pengukuran kualitas yang sederhana yang kemudian menjadi filosofi kemajuan bisnis, yang dikenal dengan nama Six Sigma.
Perspektif Statistik
Sigma dalam statistik dikenal sebagai standar deviasi yang menyatakan nilai simpangan terhadap nilai tengah. Suatu proses dikatakan baik apabila berjalan pada suatu rentang yang disepakati. Rentang tersebut memiliki batas, batas atas atau USL (Upper Specification Limit) dan batas bawah atau LSL (Lower Specification Limit). Proses yang terjadi diluar rentang disebut cacat (defect). Proses Six Sigma adalah proses yang hanya menghasilkan 3,4 DPMO (defect permillion opportunity). Ringkasan level sigma diasosiasikan dengan banyaknya defect yang terjadi ditunjukkan oleh tabel dibawah.

Tabel Asosiasi Jumlah Defect dengan Level Sigma

six sigma

Perspektif Metodologi

Six Sigma merupakan pendekatan menyeluruh untuk menyelesaikan masalah dan peningkatan proses. DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) merupakan salah satu metode yang paling umum yang banyak digunakan dalam implementasi filosofi Six Sigma. Metode yang lain adalah DMADV (Define, Measure, Analyze, Design, dan Verify). Perbedaan di antara keduanya adalah DMAIC lebih cocok digunakan ketika akan dilakukan peningkatan kualitas proses yang sedang atau sudah berjalan. Sedangkan DMADV lebih umum digunakan untuk mendesain sebuah proses baru.
DMAIC sebagai sebuah langkah terstruktur merupakan jantung analisis six sigma yang menjamin voice of costumer berjalan dalam keseluruhan proses sehingga produk yang dihasilkan memuaskan pelanggan. Berikut uraian dari DMAIC:

  • Define. Define adalah fase menentukan masalah, menetapkan persyaratan-persyaratan pelanggan, dan membangun tim. Fase ini tidak banyak menggunakan statistik, tools statistik yang sering dipakai pada fase ini adalah diagram pareto. Tool statistik tersebut digunakan untuk menentukan prioritas masalah.Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan masalah adalah:
  1. Spesifik, menjelaskan secara tepat apa yang salah, bagian proses mana yang salah dan apa salahnya.
  2. Dapat diamati, menjelaskan bukti-bukti nyata suatu masalah. Bukti-bukti tersebut dapat diperoleh baik melalui laporan internal maupun umpan balik pelanggan.
  3. Dapat diukur, menunjukkan lingkup masalah dalam suatu ukuran.
  4. Dapat dikendalikan, masalah harus dapat diselesaikan dalam rentang waktu tertentu. Apabila masalah terlalu besar maka dapat dipecah-pecah sehingga dapat lebih dikendalikan.

Setelah semua varibel yang dipandang penting oleh pelanggan didapatkan dan diberi nilai terukur (varibel terukur tersebut disebut Critical to Quality [CTQ]). Dengan kata lain CTQ adalah sebuah karakteristik dari sebuah produk atau jasa yang memenuhi kebutuhan pelanggan (pelanggan internal atau eksternal).

  • Measure. Measure adalah fase mengukur tingkat kinerja saat ini. Tingkat kinerja dapat dinyatakan dalam dua aspek, yang pertama adalah level sigma dan yang kedua adalah indeks kapabilitas proses. Mengukur tingkat kinerja berarti mengukur besaran penyimpangan yang terjadi dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditetapkan pada CTQ. Penyimpangan merupakan karakteristik yang dapat diukur yang dijumpai pada proses atau output, namun tidak berada di dalam batas-batas penerimaan pelanggan.
  • Analyze. Fase analyze merupakan fase mencari serta menentukan akar sebab dari suatu masalah. Akar sebab suatu masalah perlu ditemukan karena masalah-masalah yang timbul terkadang sangat kompleks sehingga membuat kita bingung mana yang akan kita selesaikan. Salah satu tool yang digunakan adalah diagram cause and effect atau yang lebih detail seperti fault tree analysis (FTA).
  • Improve. Improve adalah fase meningkatkan proses dan menghilangkan sebab-sebab cacat. Pada fase ini dilakukan sejumlah usaha untuk meningkatkan kapabilitas proses, diantaranya dengan melakukan design of experiment (DOE) ataupun proses rekayasa kualitas dengan mengunakan metode yang sedang berkembang pesat, yaitu metode taguchi. Jika usaha-usaha tersebut menunjukkan peningkatan yang signifikan maka dibakukan dalam bentuk standard of procedure (SOP).
  • Control. Control adalah fase mengendalikan kinerja proses dan menjamin cacat tidak muncul kembali. Tool yang umum digunakan adalah peta kontrol/kendali (control chart). Fungsi umum peta kontrol adalah sebagai berikut:
  1. Membantu mengurangi variabilitas
  2. Memonitor kinerja satiap saat
  3. Memungkinkan proses koreksi untuk mencegah penolakan

Perspektif Tim Pelaksana

Brue (2002) mencatat pihak-pihak yang harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Six Sigma di dalam perusahaan. Pihak-pihak tersebut meliputi:

  1. Executive Leaders. Pimpinan puncak perusahaan yang berkomitmen untuk mewujudkan Six Sigma, memulai dan memasyarakatkannya di seluruh bagian, divisi, departemen dan cabang-cabang perusahaan.
  2. Champions. Yaitu orang-orang yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan proyek Six Sigma. Mereka merupakan pendukung utama yang berjuang demi terbentuknya black belts dan berupaya meniadakan berbagai rintangan/hambatan baik yang bersifat fungsional, finansial, ataupun pribadi agar black belts berfungsi sebagaimana mestinya. Bisa dikatakan Champions menyatu dengan proses pelaksanaan proyek, para anggotanya berasal dari kalangan direktur dan manajer, bertanggung jawab terhadap aktivitas proyek sehari-hari, wajib melaporkan perkembangan hasil kepada executive leaders sembari mendukung tim pelaksana. Sedangkan tugas-tugas lainnya meliputi memilih calon-calon anggota black belt, mengidentifikasi wilayah kerja proyek, menegaskan sasaran yang dikehendaki, menjamin terlaksananya proyek sesuai dengan jadwal, dan memastikan bahwa tim pelaksana telah memahami maksud/tujuan proyek.
  3. Master Black Belt. Orang-orang yang bertindak sebagai pelatih, penasehat (mentor) dan pemandu. Master black belt adalah orang-orang yang sangat menguasai alat-alat dan taktik Six Sigma, dan merupakan sumber daya yang secara teknis sangat berharga. Mereka memusatkan seluruh perhatian dan kemampuannya pada penyempurnaan proses. Aspek-aspek kunci dari peranan master black belt terletak pada kepiawaiannya untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tanpa mengambil alih proyek/tugas/pekerjaan.
  4. Black Belts. Dipandang sebagai tulang punggung budaya dan pusat keberhasilan Six Sigma, mengingat mereka adalah orang-orang yang: memimpin proyek perbaikan kinerja perusahaan; dilatih untuk menemukan masalah, penyebab beserta penyelesaiannya; bertugas mengubah teori ke dalam tindakan; wajib memilah-milah data, opini dengan fakta, dan secara kuantitatif menunjukkan faktor-faktor potensial yang menimbulkan masalah produktivitas serta profitabilitas; bertanggung jawab mewujudnyatakan Six Sigma. Para calon anggota black belts wajib memenuhi syarat-syarat seperti: memiliki disiplin pribadi; cakap memimpin; menguasai ketrampilan teknis tertentu; mengenal prinsip-prinsip statistika; mampu berkomunikasi dengan jelas; mempunyai motivasi kerja yang memadai.
  5. Green Belts. Adalah orang-orang yang membantu black belts di wilayah fungsionalnya. Pada umumnya green belts bertugas: secara paruh waktu di bidang yang terbatas; mengaplikasikan alat-alat Six Sigma untuk menguji dan menyelesaikan problema-problema kronis; mengumpulkan/ menganalisis data, dan melaksanakan percobaan-percobaan; menanamkan budaya Six Sigma dari atas ke bawah.

Referensi: